Sektor ekspor Indonesia masih menunjukan tren positif
meskipun krisis tengah melanda beberapa negara Eropa dan Amerika. Tercatat
ekspor Indonesia pada Januari-Oktober tahun 2011 bernilai sebesar US$ 169,03
miliar. Naik jika diandingkan dengan periode yang sama tahun lalu sebesar 34,88
persen. Sedangkan nilai impor yang
dicatat pada Oktober 2011 sebesar US$ 15,65 milliar dan selama Januari-Oktober
2011, Indonesia telah mengimpor barang non-migas senilai 145,68 milliar dollar
AS. Naik dari 36,18 milliar dollar AS dibanding periode sama pada tahun lalu.
Secara grafik, kegiatan ekspor Indonesia ke China selama
tujuh tahun terakhir bisa digambarkan sebagai berikut :
Jika kita amati dari diagram diatas, adanya perdagangan bebas dan kerjasama CAFTA (China-Asean Free Trade Agreement) memberikan hasil yang positif terhadap nilai ekspor Indonesia. Terbukti diberlakukannya CAFTA pada tahun 2010, memberikan tren positif sehingga Indonesia bisa mencatatkan pertumbuhan ekspor yang sehat dari tahun 2010.
Dilain
pihak, negara-negara uni-Eropa juga masih mengadakan perdagangan internasional
dengan negara kita, meskipun tidak sebesar nilai pada periode-periode
sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh keadaan ekonomi Uni-Eropa yang masih
terlilit krisis dan gagal bayar oleh beberapa negara anggotanya. Akan tetapi
ketergantungan masyarakat Uni-Eropa terhadap barang Ekspor Indonesia –meskipun
tidak memiliki daya beli yang kuat- masih memberikan dampak positif terhadap
pertumbuhan ekspor Indonesia.
Selain sector ekspor, indicator konsumsi masyarakat yang
meningkat menghantarkan Indonesia dinilai memiliki pertumbuhan ekonomi yang
baik. Growth Indonesia saat ini
berapa dikisaran 5,5 – 6 persen. Yang perlu diperhatikan adalah adanya
statistic yang menunjukkan sector konsumsi merupakan indicator terbear bagi
pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pertumbuhan ekonomi negara masih di dominasi oleh
indicator konsumsi sebesar 44 persen dari semua indicator yang mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi suatu negara berbasiskan dari nilai GDP (Y) seperti
investasi (I), nilai ekspor-impor (Nx), serta pengeluaran pemerintah (G).
Belum lagi, menurut data yang diterbitkan oleh Institute
for Development of Economic and Finance menyebutkan bahwa dari total konsumsi
masyarakat Indonesia, mayoritas kegiatan konsumsi merupakan transaksi yang
dilakukan oleh 10 persen orang Indonesia yang mana berasal dari kalangan
menengah keatas. Bukan mereka yang background-nya
orang bawah yang memiliki penghasilan pas-pasan –bahkan kekurangan- untuk memenuhi
kehidupan sehari-hari.
Fenomena yang sungguh menyedihkan, memang indikator
konsumsi (C) tidak akan bisa dihilangkan dalam penghitungan GDP. Tidak bisa
pula dibedakan mana konsumsi produktif dan konsumsi untuk konsumtif semata. Karena,
diasumsikan semakin besar power yang
dimiliki oleh suatu masyarakat untuk membeli dan mengkonsumsi suatu barang,
maka dia sudah memiliki pendapatan yang lumayan, sudah bisa menyisikan tabungan
untuk dana yang bersifat mendadak dan urgen di masa yang akan datang. Bukan
merupakan kemampuan yang dihasilkan karena di ada-ada dan hutang kepada pihak
lain.
Budaya
konsumtif sepertinya telah menjangkiti sendi-sendi setiap elemen masyarakat
negeri ini. Yang kaya semakin hobi berfoya-foya, yang miskin juga tidak tau
diri, selalu mengikuti gaya dan semakin menjadi dengan memaksakan diri tanpa
berfikir sebuah substansi dan esensi kenapa dia harus mengkonsumsi suatu barang
tertentu. Alhasil, kegiatan konsumsi yang dilakukan hanyalah kegiatan konsumtif
sebagai end-usser semata tanpa
memikirkan apa yang akan dia hasilkan balik dari apa yang telah dikonsumsi. Dalm
artian, konsumsi yang dilakukan tidak bisa menghasilkan lapangan pekerjaan
maupun sumber income untuk oranglain.
Sehingga
indicator konsumsi hanyalah indicator semu yang membayang-bayangi kesejahteraan
yang dirasakan masyarakat luas. Masyarakat harus mulai sadar, hendaknya
memikirkan terlebih dahulu, dia mengkonsumsi barang tersebut karena kebutuhan
atau hanya sekedar keinginan hawa nafsu dengan alasan gaya hidup lah, trend
yang mengikuti zaman lah, atau juga tuntutan komunitas tempat kongkow-kongkow.
Sehingga konsumsi dilakukan jika memang itu merupakan kkebutuhan atau tuntutan
hidup secara substansi dan uang bisa dialokasikan untuk kegiatan investasi yang
lebih menolong sector riil.
Sungguh ironis, ternyata tingginya pertumbuhan ekonomi
negara kita selama ini merupakan pertumbuhan yang semu. Angka pertumbuhan yang
publikasikan hanyalah sebuah angka politik ekonomi semata. Pertumbuhan yang
lebih dipengaruhi oleh budaya konsumtif bangsa yang semakin tidak terkendali.
Apakah ini yang seharusnya kita banggakan dan elu-elu kan?
Akan tetapi, lain cerita dengan bangsa kita, sudah
terjadi pergeseran makna kemampuan di negara ini. Selama ini kesejahteraan
hanya diartikan melalui angka-angka statistic dan hipotesa-hipotesa ekonom
belaka. Kesejahteraan yang seharusnya milik rakyat dan bisa dinikmati bersama
telah hilang dirampok orang-orang serakah di negaeri ini.
0 komentar: (+add yours?)
Post a Comment