Menguak Pemikiran Islam tentang International Trading

Perdagangan internasional, kini menjadi topic yang tengah menyita perhatian para ekonom dunia untuk melakukan kajian, terutam perdaganagn internasional yang dilakukan oleh suatu kawasan regional. Penghilangan hambatan perdagangan antar negara, baik tariff maupun non-tariff merupakan focus kajian yang ditujukan untuk mengkondisikan suatu iklim perdagangan yang sehat dan menguntungkan setiap pihak pelaku transaksi perdagangan.

Hampir semua teori yang mengungkapkan tentang perdagangan internasional berpendapat motif utam negara melakukan perdagangan internasional adalah demi memnuhi kebutuhan dalam negeri yang tidak tersedia dan diproduksi oleh negara tersebut. Sehingga skema perdagangan internasional dianggap sebagai solusi perbedaan kebutuhan dan produksi yang dimiliki negara.

Dalam Islam, perdagangan internasional sudah dikenal sejak zaman jahiliyah, jauh sebelum Muhammada SAW diangkat menajdi rosul. Sebagaimana yang tertuang dalam surat Quraisy yang semua ayatnya berbicara tentang aktivitas perniagaan yang dilakukan oleh kaum Quraisy dan ekspansi perdagangan mereka yang meluas hingga Syam. Kemudian perniagaan bangsa Arab di lanjutkan pada masa kekhilafahan Islam, dari Abasyiah dan Mu’awiyah, hingga daulah-daulah Islam yang lainnya. Bahkan, beberapa literature mencatat ekspansi mereka saat itu sampai negeri Cina dan Eropa. Belakangan jalur perdagangan tersebut disebut sebagai jalur sutera.


Imam Abu Yusuf, dalam karyanya Al Khoroj banyak mengomentari beberapa kewenangan mengatur perdagangan internasional dalam bentuk bead dan cukai (costum duties). Beliau mengomentari palak bea masuk dalam ke dalam wilayah kekuasaan Islam (bea) dan orang asing yang melawat pos penjagaan keamanan wilayah Islam. Beliau menulis : “Kemudian terhadap pedagang muslim dikenakan bea 2,5 %, golongan minoritas (ahlul dzimmah) 5 %, dan orang asing (ahlu harb) 10% bagi mereka yang bermaksud melintasi pos penjagaan untuk melakukan perdagangan luar negeri.

Pedagang asing yang dikenakan bea masuk sebesar 10% pun bukan asal pedagang, pedagang yang dikenakan bea tersebut merupakan mereka yang barang dagangan mencapai jumlah 200 dirham, sedangkan yang tidak sampai pada jumlah tersebut (200 dirham) tidak dikenai bea masuk. Begitu juga mereka yang membawa barang untuk konsumsi pribadi (tidak dijual belikan). Setiap orang yang membawa barang bawaan untuk konsumsi pribadi diminta untuk bersumpah dihadapan petugas bea cukai negara. Hal ini tentunya dilakukan ketika masyarakat sudah benar-benar faham tentang esensi sumpah yang mereka katakana tersebut. Dengan demikian distorsi pasar tidak akan terjadi.

Fenomena seperti ini sangat berbeda sekali dengan apa yang terjadi saat ini. Setiap orang yang menmbawa barang dagangan selalu diminta untuk membayar biaya masuk (bea) tidak peduli untuk konsumsi ataupun perdagangan, ironisnya lagi biaya pajak yang dibayar rakyat entah kemana larinya. Kantor perpajakan seakan merupakan sarang koruptor kelas kakap yang selalu basah dengan uang pajak yang seharusnya menjadi pemasukan negara dan diolah untuk kepentingan rakyat.

Selain itu, Rasululloh SAW bersabda : “Biarkan manusia (berdagang), Allah akan memberikan rizqi kepada mereka.” Hadits ini menandakan bahwasanya Rosul menginginkan pasar berjalan sesuai dengan hakikatnya, tanpa ada distorsi dan intervensi dari suatu pihak manapun yang memiliki kepentingan tertentu.
Dalam kaidah mu’amalah (Ikhwan:2008), setidaknya Islam menganut dua kaidah hukum yang duilakukan oleh individu terhadap individu, ataupun individu terhadap suatu masyarakat tertentu yang menjadikan dijunjung tingginya etos kerja dan perdagangan itu sendiri. Kaidah pertama adalah makna kebebasan bagi para pelaku pasar untuk melakukan aktivitasnya dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Jika dicermati, kaidah ini mensyaratkan ditiadakannya suatu hambatan yang dianggap mengganggu transaksi perdagangan.
Salah satu hambatan yang paling meresahkan dan mengganggu adalah adanya distorsi pasar. Kendala ini bisa ditemukan dalam struktur pasar yang tidak sempurna, misalnya bentuk pasar monopoli, monopolistic competition, oligopoly, maupun pasar kartel. Bentuk pasar-pasar tersebut merupakan struktur pasar yang kolusif yang dikendalikan oleh orang-orang tertentu. Dalam konsumsi, penipuan iklan dan promosi merupakan inti dari hambatan pasar yang biasanya sengaja dibentuk oleh produsen untuk menjual produk yang mereka hasilkan.

Kaidah kedua, bahwa manusia memiliki sifat Hurriyat at Ta’aqud yang merupakan sebuah kaidah pembebasan bagi setiap individu untuk melakukan perjanjian dengan siapapun selama kontrak dan unsure-unsurnya dibolehkan oleh syari’at. Hal ini sangat kontras dengan apa yang terjadi saat ini. Negara-negara maju memimpin perjanjian perdagangan internasional dengan segudang kepentingan, baik politik maupun ekonomi, yang mereka bawa.  

Negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa dan Amerika Serikat yang dianggap sebagai komando perdagangan internasional nyatanya selalu membawa perjanjian yang berisi kepentingan tertentu dalam Letter of Intens yang dilakukan dengan negara lain yang sedang berkembang. Bahkan dalam beberapa kasus yang sangat merugikan negara partner yang diantaranya, kebijakan tariff, quota, dan prosedur-prosedur lainnya. Mereka juga menggunakan lembaga-lembaga internasional, seperti IMF dan WTO untuk melindungi kepentingan dalam negeri yang mereka usung. Kepentingan tersebut tentusaja mereka tidak mau dilampaui dan tetap unggul secara politik maupun ekonomi untuk bisa memimpin dunia dan mengeruk kekayaan dari negara berkembang sebanyak-banyaknya.

0 komentar: (+add yours?)

Post a Comment

rizalrazib. Powered by Blogger.