Peranan
pasar modal Indonesia dalam mendukung pembangunan nasional semakin
menunjukan tren yang terus meningkat. Sebagaimana yang telah terjadi di
negara-negara maju (developed countries), pasar modal
bersama-sama dengan sektor perbankan telah menjadi sumber pembiayaan
yang sangat penting bagi perkembangan perekonomiannya. Manfaat
keberadaan pasar modal tidak hanya dirasakan oleh pihak swasta
(perusahaan/emiten), tapi juga oleh Pemerintah yang telah beberapa kali
berhasil menawarkan Surat Utang Negara (Obligasi Negara) guna mendukung
Anggaran Pembangunan dan Belanja Negara (APBN).
Namun jika diperhatikan jumlah perusahaan yang melakukan IPO (Initial Public Offering/Penawaran Umum Perdana) di pasar modal Indonesia tidak berkembang sebagaimana yang diharapkan. Walaupun indikator bursa (indeks, nilai kapitalisasi, nilai rata-rata transaksi harian) mencerminkan adanya potensi pertumbuhan penggalangan dana dan investasi masyarakat di pasar modal, namun perkembangan tersebut ternyata tidak/belum diikuti dengan minat perusahaan-perusahaan di Indonesia untuk melakukan IPO. Kondisi makro ekonomi Indonesia sebenarnya cukup kondusif untuk dilaksanakannya IPO.
Pada sisi lain, data Bank Indonesia menunjukan bahwa penyaluran kredit (pinjaman) mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan. Hal ini nampak dari rekap pemberian kredit oleh perbankan, dimana sampai dengan akhir Oktober 2010 mencapai Rp1.641,31 triliun.[1] Setidaknya hal ini dapat dipersepsikan bahwa kebutuhan perusahaan-perusahaan di Indonesia untuk mendapatkan pinjaman/pembiayaan sangat besar. Dikaitkan dengan hal ini, pasar modal sebenarnya dapat dimanfaatkan sebagai alternatif pembiayaan perusahaan, terutama jika kebutuhan pembiayaan tersebut bersifat jangka panjang (long-term financing).
Jika perkembangan-perkembangan tersebut di atas dikaitkan, maka dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa sebenarnya terdapat potensi yang besar dalam meningkatkan jumlah IPO di pasar modal Indonesia karena baik dari sisi demand (jumlah calon investor yang akan menginvestasikan dananya) maupun dari sisi suply (jumlah perusahaan yang masih membutuhkan dana) masih memiliki potensi yang cukup besar untuk ditingkatkan.
Aktifitas IPO sendiri sangat dibutuhkan bagi perkembangan pasar modal Indonesia karena dengan demikian jumlah sekuritas saham dan obligasi yang tersedia di 5 pasar juga akan semakin meningkat. Kondisi tersebut diharapkan dapat meningkatkan minat masyarakat investor dalam membeli sekuritas karena pilihannya menjadi lebih banyak dan beragam. Selain itu, peningkatan jumlah saham dan obligasi di pasar juga akan meningkatkan kemampuan investor dalam melakukan diversifikasi portofolionya dan menekan risiko investasinya. Industri Reksa Dana sangat berkepentingan akan hal ini karena sebagian besar underlying asset-nya adalah saham dan obligasi. Jika jumlah sekuritas yang ditawarkan di pasar jauh lebih sedikit dibandingkan permintaannya, maka dikhawatirkan akan menciptakan efek harga sekuritas yang „menggelembung‟ jauh di atas harga yang wajar (bubble price) dimana pada gilirannya nanti akan meningkatkan risiko investasi di pasar modal.
Akan tetapi hanya sedikit perusahan yang terdaftar dipasar modal, padahal semakin banyak perusahaan yang melakukan IPO, maka akan semakin baik juga perekonomian dan stabilitas pasar modal. Minimnya perusahaan yang melakukan IPO itu dikarenakan beberapa faktor. Pertama, belum adanya timing yang tepat bagi perusahaan untuk melakukan go public, apalagi setelah terjadinya krisis finansial tahun 2008. Kondisi perekonomian, pasar modal dan industri perusahaan yang bersangkutan sangat mempengaruhi timing. Salah satu alat bagi perusahaan untuk mengetahui hal itu adalah dengan melihat market-to-book ratio dari perusahaan-perusahaan sejenis yang telah listing di bursa.
Kedua, Belum banyak perusahaan di Indonesia yang memiliki kondisi kesehatan finansial maupun non-finansial yang cukup memuaskan. Masih minim perusahaan yang mampu menciptakan value journey yang berkesinambungan bagi stakeholders-nya. Hal ini tentunya mempengaruhi kepercayaan diri perusahaan untuk masuk bursa dan juga mempengaruhi minat penjamin emisi (underwriters) yang bersedia membantu perusahaan melakukan go public. Beberapa perusahaan terbukti gagal mendapatkan kontrak pendahuluan dan pernyataan efektif dari regulator terkait dengan kondisinya. Data dari BEI menunjukkan bahwa sejak tahun 2002 sampai dengan 2009 terdapat 14 perusahaan yang gagal mendapatkan kontrak pendahuluan dari bursa, yang sebagian besar alasannya karena keraguan atas kelangsungan usaha.
Ketiga, masih minimnya pemahaman manajemen perusahaan mengenai proses go public (IPO). Hal ini menyebabkan perusahaan berpikiran bahwa proses go public akan sangat rumit dan memerlukan waktu yang lama serta manfaat yang akan didapatkan belum tentu setara dengan upaya yang dilakukan.
Selain itu masyarakat juga respek untuk berinvestasi di pasar modal meskipun dana yang mereka miliki cukup besar untuk diinvestasikan, hal ini menjadikan masyarakat menumpuk dana yang mereka miliki di bank karena masyarakat takut akan kehilangan uang yang mereka tanam di pasar modal. Krisis financial yang berakibat pada jatuhnya harga saham di bursa efek juga mempengaruhi investor untuk lebih berhati-hati berinvestasi di pasar modal.
Oleh karena faktor-faktor diatas, maka Bapepam-LK sebagai instansi pemerintah yang mengawasi perjalanan pasar modal di negeri ini harus melakukan beberapa hal sebagai upaya menggiatkan IPO di pasar modal, diantaranya: Pertama, Bapepam-LK sebaiknya tidak hanya berperan sebagai regulator (berkaitan dengan go public), tapi juga mulai mengambil peran sebagai salah satu agen motivator bagi perusahaan-perusahaan yang berpotensi melakukan go public. Hal ini dapat dilaksanakan dengan melakukan kerjasama dengan lembaga-lembaga terkait seperti BI, Departemen Perdagangan, Meneg BUMN, KADIN, dan HIPMI. Perkembangan jumlah saham baru di bursa sangat bermanfaat bagi pengembangan pasar modal Indonesia, sehingga Bapepam-LK sebaiknya mengambil peranan secara aktif.
Kedua, mengadakan Workshop yang komprehensif mengenai seluk-beluk proses go public bagi perusahaan-perusahaan besar dan UKM yang berpotensi. Workshop dapat diadakan bekerjasama dengan pihak-pihak terkait. Workshop tersebut setidaknya menjelaskan tentang : manfaat dan kewajiban sebagai perusahaan go public, success stories, proses go public, aspek hukum, aspek akuntansi, aspek keterbukaan informasi, implementasi corporate governance, komunikasi dan relasi dengan investor. Tujuannya adalah agar manajemen perusahaan bersangkutan benar-benar paham dan siap sebagai perusahaan yang akan listed serta dapat mengambil manfaat dari proses tersebut. Perusahaan yang benar-benar siap melakukan transformasi menjadi perusahaan publik akan menjadi daya tarik bagi para investor di pasar modal.
Ketiga, mengkaji aturan tentang batasan investasi bagi lembaga keuangan non-bank seperti Perusahaan Asuransi dan Dana Pensiun, yang memiliki dana jangka panjang cukup besar untuk melakukan investasi pada saham perusahaan yang ditawarkan melalui go public. Kajian tersebut tentunya tetap memperhatikan prinsip-prinsip keamanan berinvestasi bagi perusahaan-perusahaan tersebut.
Keempat, ekerjasama dengan instansi lain dalam melakukan kajian peraturan yang terkait dengan status publik suatu perusahaan, diantaranya eminta perusahaan-perusahaan yang telah memiliki jumlah hutang bank yang cukup besar, untuk melakukan go public agar aspek keterbukaan informasi dan pengawasan perusahaan tersebut dapat ditingkatkan (dengan Bank Indonesia), meminta BUMN yang memiliki nilai aset yang besar, memiliki utang yang besar, terdapat kepemilikan dana pemerintah yang signifikan, atau sangat berpengaruh terhadap perkembangan ekonomi nasional, untuk melakukan pendaftaran sebagai perusahaan publik atau melaksanakan go public (dengan Kementrian Negara BUMN), pengenaan pajak yang progresif bagi perusahaan-perusahaan yang sahamnya tercatat sekian persen di bursa (dengan Dirjen Pajak). Semakin besar persentase saham yang dimiliki publik, akan semakin besar pula keringanan pajak yang didapatkan perusahaan.
Kelima, Membuat pedoman lengkap mengenai proses go public, terutama dalam bentuk CD interactive dan materi elektronik (web page) yang mudah didapatkan atau di-download secara gratis. Sedang yang terakhir adalah perlunya penelitian lebih lanjut mengenai terbentuknya suatu pihak yang berfungsi sebagai penyedia jasa bagi calon Emiten, terutama dalam hal memperbaiki kinerja perusahaan baik dari sisi manajemen maupun keuangan.
Namun jika diperhatikan jumlah perusahaan yang melakukan IPO (Initial Public Offering/Penawaran Umum Perdana) di pasar modal Indonesia tidak berkembang sebagaimana yang diharapkan. Walaupun indikator bursa (indeks, nilai kapitalisasi, nilai rata-rata transaksi harian) mencerminkan adanya potensi pertumbuhan penggalangan dana dan investasi masyarakat di pasar modal, namun perkembangan tersebut ternyata tidak/belum diikuti dengan minat perusahaan-perusahaan di Indonesia untuk melakukan IPO. Kondisi makro ekonomi Indonesia sebenarnya cukup kondusif untuk dilaksanakannya IPO.
Pada sisi lain, data Bank Indonesia menunjukan bahwa penyaluran kredit (pinjaman) mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan. Hal ini nampak dari rekap pemberian kredit oleh perbankan, dimana sampai dengan akhir Oktober 2010 mencapai Rp1.641,31 triliun.[1] Setidaknya hal ini dapat dipersepsikan bahwa kebutuhan perusahaan-perusahaan di Indonesia untuk mendapatkan pinjaman/pembiayaan sangat besar. Dikaitkan dengan hal ini, pasar modal sebenarnya dapat dimanfaatkan sebagai alternatif pembiayaan perusahaan, terutama jika kebutuhan pembiayaan tersebut bersifat jangka panjang (long-term financing).
Jika perkembangan-perkembangan tersebut di atas dikaitkan, maka dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa sebenarnya terdapat potensi yang besar dalam meningkatkan jumlah IPO di pasar modal Indonesia karena baik dari sisi demand (jumlah calon investor yang akan menginvestasikan dananya) maupun dari sisi suply (jumlah perusahaan yang masih membutuhkan dana) masih memiliki potensi yang cukup besar untuk ditingkatkan.
Aktifitas IPO sendiri sangat dibutuhkan bagi perkembangan pasar modal Indonesia karena dengan demikian jumlah sekuritas saham dan obligasi yang tersedia di 5 pasar juga akan semakin meningkat. Kondisi tersebut diharapkan dapat meningkatkan minat masyarakat investor dalam membeli sekuritas karena pilihannya menjadi lebih banyak dan beragam. Selain itu, peningkatan jumlah saham dan obligasi di pasar juga akan meningkatkan kemampuan investor dalam melakukan diversifikasi portofolionya dan menekan risiko investasinya. Industri Reksa Dana sangat berkepentingan akan hal ini karena sebagian besar underlying asset-nya adalah saham dan obligasi. Jika jumlah sekuritas yang ditawarkan di pasar jauh lebih sedikit dibandingkan permintaannya, maka dikhawatirkan akan menciptakan efek harga sekuritas yang „menggelembung‟ jauh di atas harga yang wajar (bubble price) dimana pada gilirannya nanti akan meningkatkan risiko investasi di pasar modal.
Akan tetapi hanya sedikit perusahan yang terdaftar dipasar modal, padahal semakin banyak perusahaan yang melakukan IPO, maka akan semakin baik juga perekonomian dan stabilitas pasar modal. Minimnya perusahaan yang melakukan IPO itu dikarenakan beberapa faktor. Pertama, belum adanya timing yang tepat bagi perusahaan untuk melakukan go public, apalagi setelah terjadinya krisis finansial tahun 2008. Kondisi perekonomian, pasar modal dan industri perusahaan yang bersangkutan sangat mempengaruhi timing. Salah satu alat bagi perusahaan untuk mengetahui hal itu adalah dengan melihat market-to-book ratio dari perusahaan-perusahaan sejenis yang telah listing di bursa.
Kedua, Belum banyak perusahaan di Indonesia yang memiliki kondisi kesehatan finansial maupun non-finansial yang cukup memuaskan. Masih minim perusahaan yang mampu menciptakan value journey yang berkesinambungan bagi stakeholders-nya. Hal ini tentunya mempengaruhi kepercayaan diri perusahaan untuk masuk bursa dan juga mempengaruhi minat penjamin emisi (underwriters) yang bersedia membantu perusahaan melakukan go public. Beberapa perusahaan terbukti gagal mendapatkan kontrak pendahuluan dan pernyataan efektif dari regulator terkait dengan kondisinya. Data dari BEI menunjukkan bahwa sejak tahun 2002 sampai dengan 2009 terdapat 14 perusahaan yang gagal mendapatkan kontrak pendahuluan dari bursa, yang sebagian besar alasannya karena keraguan atas kelangsungan usaha.
Ketiga, masih minimnya pemahaman manajemen perusahaan mengenai proses go public (IPO). Hal ini menyebabkan perusahaan berpikiran bahwa proses go public akan sangat rumit dan memerlukan waktu yang lama serta manfaat yang akan didapatkan belum tentu setara dengan upaya yang dilakukan.
Selain itu masyarakat juga respek untuk berinvestasi di pasar modal meskipun dana yang mereka miliki cukup besar untuk diinvestasikan, hal ini menjadikan masyarakat menumpuk dana yang mereka miliki di bank karena masyarakat takut akan kehilangan uang yang mereka tanam di pasar modal. Krisis financial yang berakibat pada jatuhnya harga saham di bursa efek juga mempengaruhi investor untuk lebih berhati-hati berinvestasi di pasar modal.
Oleh karena faktor-faktor diatas, maka Bapepam-LK sebagai instansi pemerintah yang mengawasi perjalanan pasar modal di negeri ini harus melakukan beberapa hal sebagai upaya menggiatkan IPO di pasar modal, diantaranya: Pertama, Bapepam-LK sebaiknya tidak hanya berperan sebagai regulator (berkaitan dengan go public), tapi juga mulai mengambil peran sebagai salah satu agen motivator bagi perusahaan-perusahaan yang berpotensi melakukan go public. Hal ini dapat dilaksanakan dengan melakukan kerjasama dengan lembaga-lembaga terkait seperti BI, Departemen Perdagangan, Meneg BUMN, KADIN, dan HIPMI. Perkembangan jumlah saham baru di bursa sangat bermanfaat bagi pengembangan pasar modal Indonesia, sehingga Bapepam-LK sebaiknya mengambil peranan secara aktif.
Kedua, mengadakan Workshop yang komprehensif mengenai seluk-beluk proses go public bagi perusahaan-perusahaan besar dan UKM yang berpotensi. Workshop dapat diadakan bekerjasama dengan pihak-pihak terkait. Workshop tersebut setidaknya menjelaskan tentang : manfaat dan kewajiban sebagai perusahaan go public, success stories, proses go public, aspek hukum, aspek akuntansi, aspek keterbukaan informasi, implementasi corporate governance, komunikasi dan relasi dengan investor. Tujuannya adalah agar manajemen perusahaan bersangkutan benar-benar paham dan siap sebagai perusahaan yang akan listed serta dapat mengambil manfaat dari proses tersebut. Perusahaan yang benar-benar siap melakukan transformasi menjadi perusahaan publik akan menjadi daya tarik bagi para investor di pasar modal.
Ketiga, mengkaji aturan tentang batasan investasi bagi lembaga keuangan non-bank seperti Perusahaan Asuransi dan Dana Pensiun, yang memiliki dana jangka panjang cukup besar untuk melakukan investasi pada saham perusahaan yang ditawarkan melalui go public. Kajian tersebut tentunya tetap memperhatikan prinsip-prinsip keamanan berinvestasi bagi perusahaan-perusahaan tersebut.
Keempat, ekerjasama dengan instansi lain dalam melakukan kajian peraturan yang terkait dengan status publik suatu perusahaan, diantaranya eminta perusahaan-perusahaan yang telah memiliki jumlah hutang bank yang cukup besar, untuk melakukan go public agar aspek keterbukaan informasi dan pengawasan perusahaan tersebut dapat ditingkatkan (dengan Bank Indonesia), meminta BUMN yang memiliki nilai aset yang besar, memiliki utang yang besar, terdapat kepemilikan dana pemerintah yang signifikan, atau sangat berpengaruh terhadap perkembangan ekonomi nasional, untuk melakukan pendaftaran sebagai perusahaan publik atau melaksanakan go public (dengan Kementrian Negara BUMN), pengenaan pajak yang progresif bagi perusahaan-perusahaan yang sahamnya tercatat sekian persen di bursa (dengan Dirjen Pajak). Semakin besar persentase saham yang dimiliki publik, akan semakin besar pula keringanan pajak yang didapatkan perusahaan.
Kelima, Membuat pedoman lengkap mengenai proses go public, terutama dalam bentuk CD interactive dan materi elektronik (web page) yang mudah didapatkan atau di-download secara gratis. Sedang yang terakhir adalah perlunya penelitian lebih lanjut mengenai terbentuknya suatu pihak yang berfungsi sebagai penyedia jasa bagi calon Emiten, terutama dalam hal memperbaiki kinerja perusahaan baik dari sisi manajemen maupun keuangan.
REFERENSI
Brau, James and Fawcett, Stanley, Initial Public Offering: An Analysis of Theory and Practice, 1997
Kasmir. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya: Raja Grafindo Persada. 2008
1 komentar: (+add yours?)
Apakah Anda mencari pinjaman? Anda memerlukan Pinjaman Usaha, Pinjaman Pribadi, Pinjaman Perumahan, Atau apakah Anda menolak pinjaman bank atau lembaga keuangan untuk satu atau lebih alasan? Anda memiliki tempat yang tepat untuk solusi pinjaman Anda di sini! Perusahaan pinjaman ALEXANDER ROBERT kami membatasi pemberian pinjaman kepada perusahaan dan individu dengan tingkat bunga rendah dan terjangkau sebesar 2%. Silahkan hubungi kami melalui e-mail hari ini via Alexanderrobertloan@gmail.com
Kami memberikan pinjaman mulai dari jumlah minimum 5.000 sampai 500.000.000,00 pada mata uang berikut: Dolar Amerika Serikat, Eropa dan Pounds Besar Inggris (GBP).
DATA PEMOHON:
1) Nama Lengkap:
2) Negara:
3) Alamat: a
4) Negara:
5) Jenis Kelamin:
6) Status Perkawinan:
7) Pekerjaan:
8) Nomor Telepon:
9) Saat ini posisi di tempat kerja:
10) Pendapatan bulanan:
11) Jumlah Pinjaman yang Dibutuhkan:
12) Durasi Pinjaman:
13) Tujuan Pinjaman:
14) Agama:
15) Sudahkah kamu melamar dulu;
16) tanggal lahir;
Terima kasih,
MR ALEXANDER ROBERT
Post a Comment