Relevansi Hukum Islam dan Keuangan Perbankan Modern





            Selama ini masyarakat luas mengenal hukum islam sebagai hukum yang memuat nilai-nilai klasik yang “kolot” dan “kekeuh” serta kurang fleksibel dalam aplikasi keseharian. Anggapan tersebut tidak hanya tertanam dalam benak orang-orang non-muslim, pikiran orang muslim sendiri pun banyak yang menganggap demikian sehingga enggan untuk melaksanakan hukum-hukum muamalat islam.
            
 Begitu juga dengan konsep transaksi (muamalah) dan landasan hukum lembaga-lembaga keuangan maupun perbankan yang saat ini sedang mengalami peningkatan secara pesat karena diyakini bisa menjadi suatu system yang tahan terhadapa guncangan-guncangan ekonomi baik guncangan yang bersifat mikro maupun makro ekonomi.

            Ketika awal diwacanakannya system perbankan dan keuangan baru non-ribawai, banyak kalangan yang meragukan apakah mungkin metode dan konsep keuanagn bisa beroperasi tanpa adanya unsure riba dan bunga acuan didalam prakteknya. Beberapa ornag dari kalangan ulama juga banyak yang meragukan system baru. Hal ini disebabkan kurangnya kajian yang mendalam tentang fiqih keuangan islam yang kemudian dengan tuntutan zaman yang semakin maju lahirlah sebuah system perbankan.


            Selama ini “ulama” yang membolehkan system riba berargumen karena alasan kedhoruratan belum adanya system baru yang fleksibel dan meberikan pelayanan kebutuhan masyarakat dalam bertransaksi sehari-hari. Oleh karenanya ketika system keuangan dan perbankan islam mulai booming, para ulama menganjurkan untuk segera berhijrah kepada system keuangan islami. Meskipun masih ada beberapa ulama yang “kekeuh” untuk tetap bermuamalah dengan system ribawi. Meskipun mereka memiliki argument, akan tetapi argument yang digunakan masih lemah karena hanya mengedepankan logika “mana mungkin system keungan tanpa riba bisa diterapkan di masa sekarang”.

            Pertumbuhan sistem baru ini didukung oleh kaum elit praktisi maupun akademisi untuk menerapkan hukum klasik islam yang pernah jaya bukan menggantinya dengan hukum baru. Hal lain yang mendasari dukungan sistem tanpa riba juga karena kegagalan para kaum elit dalam mempraktekan sistem keuangan riba yang sangat diagung-agungkan dunia barat. Akan tetapi di sisi lain mereka menerapkan hukum konservatif terhadap hukum-hukum klasik islam sehingga hukum-hukum islam dirasakan tidak memiliki kesempatan untuk diterapkan di duni modern seperti sekarang ini.

            Sehingga muncul pertanyaan mengapa hukum islam harus direvisi agar bisa mendapatkan tempat dan diaplikasikan dimasyarakat luas? Padahal nilai-nilai yang terkandung oleh hukum islam justru terkandung dalam hukum islam klasik. Permasalahan seperti ini merupakan hambatan tersendiri bagi hukum klasik islam agar bisa diaplikasikan dalam keseharian. Sebagaimana yang dikemukakan Frank E. Vogel dalam buku Hukum Keuangan Islam (2007) :
“Namun, melalui kajian yang lebih mendalam, orang non-Islam justru menjumpai aplikasi keuangan hukum klasik (fiqh) yang sangat luar biasa kaya dan kompleks. Kendati hukum ini memang memuat prinsip-prinsip yang sangat umum, hukum tersebut tidak dituangkan dalam keumumannya, melainkan dalam aturan yang terperinci yang luar biasa banyaknya. “

            Oleh karenanya hukum klasik tidak perlu direvisi sedemikian rupa karena sudah sesuai dengan konteks keuangan dan metode keuangan modern sekarang ini. Yang sangat diperlukan justru penggalian hukum klasik yang lebih intens dan mendalam. Sebab, ahli hukum klasik sudah wafat dan hanya tinggal sejarah lewat buku-buku ditulis oleh ulama-ulama tersebut. Sehingga membutuhkan penyesuaian konteks keadaan ekonomi, tatanan masyarakat, maupun ijtihad yang lebih hati-hati. 

            Selain itu, yang harus diperhatikan secara lebih intensif adalah penggunaan kata yang berbau islam dalam setiap istilah-istilah keuangan islami seperti “obligasi islam”, “tabungan islam”, ataupun “bank islam”. Para praktisi dan akademisi harus mulai memikirkan masalah kecil seperti ini. Pasalnya ketika sistem keuangan non ribawi disosialisasikan kepada masyarakat luas yang non-muslim, mereka akan cenderung alergi dengan nama-nama tersebut. Seakan nama-nama ini merupakan nama dari agama tertentu. Padahal, hukum klasik dan syariah islam merupakan hukum rahmatan lil ‘alamin yang semestinya selaras dengan fitrah dan hati nurani dari setiap individu penghuni bumi ini dalam rangka mewujudkan kesejahteraan dan kedamaian hidup serta maslahat yang dirindukan bersama. 

0 komentar: (+add yours?)

Post a Comment

rizalrazib. Powered by Blogger.