Wacana pelestarian lingkungan kian gencar di sosialisakan oleh pemerintah maupun gerakan LSM-LSM yang peduli lingkungan. Pelestarian lingkungan diwacanakan terkait dengan semakin terancamnya keseimbangan ekosistem bumi yang ditandai dengan semakin tingginya suhu bumi atau yang sering disebut sebagai global warming. Tindakan merusak alam kini dikecam oleh seluruh penduduk bumi, tidak terecuali dari negara maju mapun negara berkembang.
Dalam rangka ikut aktif dalam melestarikan lingkungan hidup, mahasiswa pecinta alam STEI TAZKIA
(HAIHATA) dan Ikatan Mahasiswa Peduli Sosial Tazkia (IMPUST), menyelenggarakan serangkaian acara KAMPUS yang diantaranya berisi seminar di bidang lingkungan dengan tema "Lestarikan Lingkungan dengan Green Ekonomi sebagai Investasi Masa Depan". Pembicara yang diundang merupakan staf peneliti kementrian kehutanan Republik Indonesia, Bapak Ir. Chairil A. Siregar, M.Sc.,Ph.D., APU.
Pada kesempatan kali ini, pemateri menyampaikan pentingnya sebuah konsep green ekonomi untuk mewujudkan sebuah perekonomian bangsa yang kokoh tanpa meninggalkan unsur kearifan lingkungan sekitar yang menjadi sumber penyokong produktivitas kegiatan industri demi memenuhi kebutuhan masyarakat luas. Belia juga mengutarakan bahwasanya lapisan gas karbondioksida (CO2) yang melapisi bumi saat ini mengalami ketebalan yang signifikan. Hal ini ditandai dengan perubahan suhu bumi yang semakin tahun semakin meningkat. Sebut saja pada kisaran tahun 1880 sampai 1960, perubahan kenaikan suhu bumi hanya berkisar 0,2 persen peryahunnya. Hal ini berbeda ketika periode tahun 1960 sampai 2000, kenaikan suhu bumi mengalami peningkatan yang sangat signifikan.
Hutan merupakan sebuah ekosistem yang terdiri dari hamparan flora dan fauna, tanah beserta organisme di dalam dan diatasnya, berbagai jenis mineral, air, dan udara segar yang merupakan syarat mutlak bagi keberlagsungan ekosistem besar yang hidup di bumi ini. Tanpa hutan yang lebat, maka banjir akan siap melanda rumah tinggal kita. Jika hutan gundul, udara segar akan sangat mahal harganya. Keseimbangan alam semesta akan rusak karenanya. Pemanfaatan hutan juga tidak boleh semena-mena. Pemerintah telah mengatur jika pengelolaan hutan harus dimanfaatkan secara bijak dan memperhatikan fungsi ekologi kehidupan, produksi, sosial, dan ekonomi baik bagi masyarakat maupun negara, yang tertuang dalam pasal 33 ayat (3) tahun 1945.
Dilema Konservasi Hutan dan Ketahanan Pangan
Konservasi hutan merupakan hal yang sudah sepantasnya dilakukan oleh setiap individu yang menjadi bagian dari ekosistem alam semesta ini. Beberapa negara sudah melakukan kerjasama bilateral maupun multilateral lewat Letter of Intent untuk sebuah kerjasama konservasi hutan dan menyelamatkan ekosistem yang terkandung di dalamnya, baik udara, mineral, air, maupun flora dan fauna. Indonesia misalnya, yang telah melakukan LoI dengan Norwegia terkait konservasi hutan pada tahun 2010 silam. Kerjasama ini dimaksudkan untuk melindung hutan dengan cara tidak melakukan aktivitas deforestasi yang bisa merusak ekosistem di dalamnya dan berakiba pada penurunan produksi oksigen dan penghisapan karbon yang terkandung di atmosfir bumi.
Namun, disisi lain dilema pun datang ketika pemerintah dihadapkan pada dua permasalah antara konservasi hutan dan pemenuhan ketahan pangan. Perlu diingat pemerintah telah mencanangkan program diversifikasi pangan untuk menutup kebutuhan pangan negara yang diprediksi akan mengalami kelangkaan pangan sebesar 70 juta ton pada tahun 2025, sementara total penduduk diperkirakan mencapai 8 milliar orang. Senada dengan hal tersebut, kebutuhan rakyat akan tempat tinggal juga semakin meningkat. Alhasi mereka harus menggunakan lahan pertanian maupun melakukan aktivitas deforestasi mengingat pertumbuhan penduduk pertahunnya mencapai 1,7 persen.
Pemerintah juga harus tetap mempertahankan pertumbuhan ekonomi sebagai tuntutan kesejahteraan masyarakat. Ditambah lagi dengan adanya otonomi daerah, pemerintah pusat menjadi semakin minim dalam melakukan kontrol dan kuasa terkait dengan aktivitas deforestasi. Kebijakan pembukaan lahan pertanian maupun hutan menjadi hak kebijakan pemerintah daerah di masing-masing wilayah otoritasnya. Padahal, dewasa ini banyak sekali aktivitas deforestasi yang digunakan untuk pembangunan industri. Alasannya sederhana, untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan memperkuat roda perekonomian.
Padahal mereka sadar bahwasanya industri merupakan penyumbang 14 persen emisi dari total keseluruhan emisi yang dihasilkan bumi ini pertahunnya. Emisi terbesar masih disumbangkan kendaraan bermotor yang eksis di alam semesta. Oleh karenanya peran serta pemerintah sebagai regulator dan eksekutor seharusnya lebih efektifkan lagi. Kegiatan sosialisasi harus kembali di galakkan dan pengetatan regulasi terkait deforestasi juga harus diperketat kembali. Sementara yang paling penting adalah aksi dari pemerintah dalam penataan kota dan penyertaan pembangunan taman kota.
Taman kota harusnya bisa lebih dibudayakan kembali, mengingat deforestasi untuk ketahanan pangan dan pemenuhan papan rakyat juga sangat penting disandingkan dengan konservasi hutan yang harus dilakukan. Dengan adanya hutan dalam kota sebagai taman wisata ataupun berelaksasi dicela kepenatan aktifitas sehari-hari akan memberikan dampak yang lebih positif tentunya. Pemerintah juga haru memilah bagian hutan mana yang sudah bisa dideforestasikan. Hutan yang sudah mati misalkan, bisa dibudayakan untuk pemenuhan kebutuhan pangan dengan menjadikannya lahan pertanian. Pengadaan pangan juga seyogyanya dilakukan dengan diversifikasi pangan, sehingga tidak bergantung pada produktivitas pangan tertentu saja. Pembudayaan pangan berbasis jagung dan umbi-umbian misalnya., pangan ini tidak lebih buruk dari beras jika dikonsumsi. Sehinngga hasil pertanian pun lebih beragam dan lebih menguntungkan bagi masyarakat. Dengan demikian, kesejahteraan pangan masyarakat juga masih bisa terkendali. Membutuhkan waktu yang tidak singkat memang untuk menyadarkan masyarakat dan menerapkan kebijakan, akan tetapi jika itu bisa dilakukan untuk kesejahteraan jangka panjang, KENAPA TIDAK.
Dalam rangka ikut aktif dalam melestarikan lingkungan hidup, mahasiswa pecinta alam STEI TAZKIA
(HAIHATA) dan Ikatan Mahasiswa Peduli Sosial Tazkia (IMPUST), menyelenggarakan serangkaian acara KAMPUS yang diantaranya berisi seminar di bidang lingkungan dengan tema "Lestarikan Lingkungan dengan Green Ekonomi sebagai Investasi Masa Depan". Pembicara yang diundang merupakan staf peneliti kementrian kehutanan Republik Indonesia, Bapak Ir. Chairil A. Siregar, M.Sc.,Ph.D., APU.
Pada kesempatan kali ini, pemateri menyampaikan pentingnya sebuah konsep green ekonomi untuk mewujudkan sebuah perekonomian bangsa yang kokoh tanpa meninggalkan unsur kearifan lingkungan sekitar yang menjadi sumber penyokong produktivitas kegiatan industri demi memenuhi kebutuhan masyarakat luas. Belia juga mengutarakan bahwasanya lapisan gas karbondioksida (CO2) yang melapisi bumi saat ini mengalami ketebalan yang signifikan. Hal ini ditandai dengan perubahan suhu bumi yang semakin tahun semakin meningkat. Sebut saja pada kisaran tahun 1880 sampai 1960, perubahan kenaikan suhu bumi hanya berkisar 0,2 persen peryahunnya. Hal ini berbeda ketika periode tahun 1960 sampai 2000, kenaikan suhu bumi mengalami peningkatan yang sangat signifikan.
Hutan merupakan sebuah ekosistem yang terdiri dari hamparan flora dan fauna, tanah beserta organisme di dalam dan diatasnya, berbagai jenis mineral, air, dan udara segar yang merupakan syarat mutlak bagi keberlagsungan ekosistem besar yang hidup di bumi ini. Tanpa hutan yang lebat, maka banjir akan siap melanda rumah tinggal kita. Jika hutan gundul, udara segar akan sangat mahal harganya. Keseimbangan alam semesta akan rusak karenanya. Pemanfaatan hutan juga tidak boleh semena-mena. Pemerintah telah mengatur jika pengelolaan hutan harus dimanfaatkan secara bijak dan memperhatikan fungsi ekologi kehidupan, produksi, sosial, dan ekonomi baik bagi masyarakat maupun negara, yang tertuang dalam pasal 33 ayat (3) tahun 1945.
Dilema Konservasi Hutan dan Ketahanan Pangan
Konservasi hutan merupakan hal yang sudah sepantasnya dilakukan oleh setiap individu yang menjadi bagian dari ekosistem alam semesta ini. Beberapa negara sudah melakukan kerjasama bilateral maupun multilateral lewat Letter of Intent untuk sebuah kerjasama konservasi hutan dan menyelamatkan ekosistem yang terkandung di dalamnya, baik udara, mineral, air, maupun flora dan fauna. Indonesia misalnya, yang telah melakukan LoI dengan Norwegia terkait konservasi hutan pada tahun 2010 silam. Kerjasama ini dimaksudkan untuk melindung hutan dengan cara tidak melakukan aktivitas deforestasi yang bisa merusak ekosistem di dalamnya dan berakiba pada penurunan produksi oksigen dan penghisapan karbon yang terkandung di atmosfir bumi.
Namun, disisi lain dilema pun datang ketika pemerintah dihadapkan pada dua permasalah antara konservasi hutan dan pemenuhan ketahan pangan. Perlu diingat pemerintah telah mencanangkan program diversifikasi pangan untuk menutup kebutuhan pangan negara yang diprediksi akan mengalami kelangkaan pangan sebesar 70 juta ton pada tahun 2025, sementara total penduduk diperkirakan mencapai 8 milliar orang. Senada dengan hal tersebut, kebutuhan rakyat akan tempat tinggal juga semakin meningkat. Alhasi mereka harus menggunakan lahan pertanian maupun melakukan aktivitas deforestasi mengingat pertumbuhan penduduk pertahunnya mencapai 1,7 persen.
Pemerintah juga harus tetap mempertahankan pertumbuhan ekonomi sebagai tuntutan kesejahteraan masyarakat. Ditambah lagi dengan adanya otonomi daerah, pemerintah pusat menjadi semakin minim dalam melakukan kontrol dan kuasa terkait dengan aktivitas deforestasi. Kebijakan pembukaan lahan pertanian maupun hutan menjadi hak kebijakan pemerintah daerah di masing-masing wilayah otoritasnya. Padahal, dewasa ini banyak sekali aktivitas deforestasi yang digunakan untuk pembangunan industri. Alasannya sederhana, untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan memperkuat roda perekonomian.
Padahal mereka sadar bahwasanya industri merupakan penyumbang 14 persen emisi dari total keseluruhan emisi yang dihasilkan bumi ini pertahunnya. Emisi terbesar masih disumbangkan kendaraan bermotor yang eksis di alam semesta. Oleh karenanya peran serta pemerintah sebagai regulator dan eksekutor seharusnya lebih efektifkan lagi. Kegiatan sosialisasi harus kembali di galakkan dan pengetatan regulasi terkait deforestasi juga harus diperketat kembali. Sementara yang paling penting adalah aksi dari pemerintah dalam penataan kota dan penyertaan pembangunan taman kota.
Taman kota harusnya bisa lebih dibudayakan kembali, mengingat deforestasi untuk ketahanan pangan dan pemenuhan papan rakyat juga sangat penting disandingkan dengan konservasi hutan yang harus dilakukan. Dengan adanya hutan dalam kota sebagai taman wisata ataupun berelaksasi dicela kepenatan aktifitas sehari-hari akan memberikan dampak yang lebih positif tentunya. Pemerintah juga haru memilah bagian hutan mana yang sudah bisa dideforestasikan. Hutan yang sudah mati misalkan, bisa dibudayakan untuk pemenuhan kebutuhan pangan dengan menjadikannya lahan pertanian. Pengadaan pangan juga seyogyanya dilakukan dengan diversifikasi pangan, sehingga tidak bergantung pada produktivitas pangan tertentu saja. Pembudayaan pangan berbasis jagung dan umbi-umbian misalnya., pangan ini tidak lebih buruk dari beras jika dikonsumsi. Sehinngga hasil pertanian pun lebih beragam dan lebih menguntungkan bagi masyarakat. Dengan demikian, kesejahteraan pangan masyarakat juga masih bisa terkendali. Membutuhkan waktu yang tidak singkat memang untuk menyadarkan masyarakat dan menerapkan kebijakan, akan tetapi jika itu bisa dilakukan untuk kesejahteraan jangka panjang, KENAPA TIDAK.
0 komentar: (+add yours?)
Post a Comment